Rabu, 13 Juni 2007

Presensi 75%,Mutlakkah ?

Kertas biru yang ditempel di depan TU FISIP UAJY beberapa hari lalu sempat membuat kaget beberapa teman-teman mahasiswa, termasuk saya. Semua berharap tak ada nomor mereka tercantum di kertas biru itu.

Oleh Hendy Adhitya

Untungnya Nomor Induk Mahasiswa (NIM) saya tak tercantum di kertas biru itu. Kertas biru berisi nomor mahasiswa yang tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) karena presensi kehadiran dibawah 75%.

Banyak yang bernafas lega –termasuk saya- dan banyak pula yang merasa sedih karena tak bisa mengikuti ujian akhir. Bagi pihak yang disebut terakhir ini artinya mereka harus mengulangi mata kuliah tersebut di semester yang akan datang.


Mematikan Kreativitas Mahasiswa

Kebijakan kampus khususnya yang mengatur masalah kehadiran minimal 75% ini amat tidak relevan dengan kondisi riil mahasiswa FISIP UAJY. Saya menganggap dengan adanya pembatasan ini justru mematikan kreativitas mahasiswa di luar ruang kuliah. Padahal sebagai mahasiswa, kita dituntut untuk kritis tetapi dinamis.

Maka peraturan presensi 75% ini bertentangan dengan slogan “mahasiswa lulus langsung siap kerja” yang sering dikumandangkan tiap universitas dalam beriklan. Nah, bagaimana mau siap di dunia kerja jika kegiatan berkreasi mahasiswanya yang menunjang kearah itu, entah itu kegiatan berorganisasi, kerja sambilan atau yang lainnya dihambat oleh peraturan seperti ini?

Saya menganggap peraturan ini telah mengerdilkan pemikiran mahasiswa sebatas apa yang diajarkan didalam kelas saja. Kita dipaksa dijejali beragam teori tanpa ada –kesempatan luas- untuk mengaplikasikannya di dunia luar.

Bodohnya lagi, mau-maunya mahasiswa taat pada peraturan yang sebenarnya tidak kita buat dan sepakati. Intinya, buat apa kita mematuhi peraturan yang bukan merupakan konsensus bersama? Bukankah kita tinggal di negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi? Lalu kemana suara kita (mahasiswa) ?


Solusi

Ada banyak jalan menuju Roma. Begitu kata pepatah lama. Ada banyak jalan keluar dari permasalahan. Maka, saya mencoba memberi ragam solusi –meski bukan yang terbaik- untuk permasalahan ini.

Pertama, ada baiknya kebijakan presensi ini diberikan kepada dosen pengampu mata kuliah masing-masing. Jadi dosen memiliki (semacam) hak prerogatif. Namun, hal ini tergantung pada sifat dosen. Sifat dosen yang kooperatif akan lebih disenangi mahasiswa ketimbang yang tidak.

Kedua, jangan jadikan presensi kehadiran 75% ini sebagai tolak ukur keberhasilan mahasiswa menempuh sebuah mata kuliah. Justru ukuran keberhasilan mahasiswa ialah mengerti dan paham terhadap segala hal yang telah disampaikan dosen.

Ketiga, seharusnya pihak kampus tidak memukul rata semua mahasiswa yang daftar hadirnya dibawah limit 75%. Tentu perlu ditanyakan kembali alasan masing-masing mahasiswa.

Pada akhirnya, kebijakan presensi kehadiran minimal 75% ini harus ditelaah kembali. Janganlah kampus memutuskan kebijakan sendiri tanpa melibatkan mahasiswa didalamnya.



*tulisan ini juga pernah dipublikasikan di Mrican Pos Edisi 3 bulan Mei 2007
(selengkapnya...»)