Jumat, 10 Agustus 2007

BHP

“Sudah cukup rakyat ditindas dan dibodohi selama rezim Orba berkuasa. Saatnya untuk menuntut pendidikan gratis karena pendidikan merupakan hak rakyat dan bukan hak sebagian atau sekelompok orang. Peringatan kepada Pemerintah jangan sekali-kali melepas tanggung jawab terhadap pendidikan dengan mensahkan RUU BHP…”

Oleh Hendy Adhitya

Penuh nada amarah dan bahkan si penulis terkesan mengancam. Saya ambil kutipan diatas dari salah satu testimoni di web hukumonline.com. Dan sebagian besar testimoni yang saya lihat di web itu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU yang bakal disahkan awal Agustus ini.

RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebenarnya merupakan implementasi pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut berbunyi, "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan".


Privatisasi Pendidikan ?

Tentu saja banyak pihak yang ketar-ketir dengan RUU BHP ini, salah satunya yayasan. Karena jika BHP jadi disahkan pemerintah maka yayasan bukan sebagai –ibaratnya- pemegang tongkat pendidikan lagi. Namun, sebuah badan bernama BHP-lah yang akan menggantikan peran yayasan selanjutnya. Yayasan Muhammadiyah dan Taman Siswa merupakan dua yayasan yang vokal menolak RUU BHP ini –entah dengan Yayasan Slamet Riyadi-.

Kekhawatiran yang sama juga dialami peserta didik. Mahasiswa misalnya, mereka khawatir BHP merupakan jalan menuju privatisasi pendidikan yang dilegalkan pemerintah.

Ada pasal di dalam RUU BHP yang menyebutkan BHP –sangat memungkinkan- dipimpin oleh individu atau kelompok. Meski disitu ditulis juga pemerintah pusat, pemerintah daerah dan yayasan dapat menjadi pimpinan BHP. Tapi coba pikir, pemerintah saat ini saja sulit untuk merealisasikan 20% APBNnya untuk dana pendidikan. Apa mungkin mereka sanggup menjadi pimpinan BHP dan membiayai seluruh pendanaan pendidikan untuk semua jenjang pendidikan di seluruh Indonesia ini?

Nah, kalau begitu pemerintah kita -dengan jujur- lewat peraturan ini menyatakan ketidaksanggupannya mengurus pendidikan bangsa ini. Dengan nyata dan sejelas-jelasnya pemerintah kita sendiri telah melanggar pasal 31 UUD 1945 ayat 2 dan 4.

Problem berikutnya berkaitan dengan sumber pendanaan dan sifat otonom BHP. Ada pasal yang menyebutkan salah satu sumber pendanaan berasal dari peserta didik (Pasal 21 ayat 2). Pasal ini perlu diperjelas karena bukan tak mungkin jika RUU ini jadi disahkan peserta didik malah menjadi sumber pendanaan utama BHP.

Sifat otonom BHP juga ambigu. Pengertian otonom disini menurut RUU BHP dalam pasal penjelas adalah “…kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri.” Di kalimat ini seolah-olah BHP diberi ruang untuk menjalankan kegiatan secara leluasa dan tiada batas. Sifat otonom inilah yang –mungkin bagi rekan-rekan mahasiswa- berpotensi menuju komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

Karena dengan sifat otonom itulah BHP berpeluang untuk mengatur dan membuat aturan mainnya sendiri. Tak usah jauh-jauh, status Badan Hukum Milik Negara alias BHMN di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bisa jadi contoh.

Semenjak diberlakukannya BHMN ini, jalur-jalur khusus penerimaan mahasiswa baru yang sebelumnya tidak pernah ada kini ada di beberapa PTN. Jalur-jalur khusus ini dibuka bukan tanpa maksud. Dibukanya jalur khusus ini dimanfaatkan PTN sebagai ajang untuk mengeruk dana dari calon mahasiswa berkantong tebal. Otomatis, kuota mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah untuk mengenyam bangku kuliah makin kecil.

Maka, keambiguitasan kata otonom disini perlu dibatasi. Jangan sampai BHP ini menjadi ajang pengerukan dana dan pelegalan aturan bagi kepentingan kelompok tertentu di bidang pendidikan.

Saya bukannya menolak BHP. Tapi, perlunya kita mengkritisi pasal-pasal yang ada di dalam RUU BHP untuk ditinjau ulang. Tabik !
(selengkapnya...»)