Selasa, 23 Maret 2010

Pengemis di Luar Kemiskinan

oleh Anderas Ryan Sanjaya

Di sekitar lampu-lampu lalu lintas Kota Yogyakarta yang berdiri dengan tegar, masyarakat dengan mudah dapat menangkap pemandangan pengemis-pengemis yang mengharapkan sedekah dari para pengendara jalan. Pengemis adalah potret dari kemiskinan, permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan di republik ini. Tetapi benarkah pengemis selalu orang miskin yang sangat berkekurangan harta?

Catatan sejarah mengatakan bahwa Yogyakarta sebagai kota didirikan sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I menjabat sebagai raja di Kasultanan Ngayogyakarta setelah Perjanjian Giyanti. Berarti sebenarnya Yogyakarta sudah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu dan hingga detik ini masalah kemiskinan juga belum terselesaikan, sebelas dua belas dengan kota lain di Indonesia. Salah satu hal yang seringkali dikaitkan dengan kemiskinan adalah adanya pengemis di daerah tersebut.

Pengemis ternyata sebuah profesi yang membutuhkan akal, mereka melakukan berbagai macam strategi untuk menyentuh hati pengguna jalan raya. Kaum ibu biasanya menggendong anaknya yang masih kecil di bawah terik matahari ketika sedang menjalankan profesinya. Anak kecil meminta-minta dengan berkata, ”Saya belum makan dari tadi pagi...” atau memberikan amplop kosong untuk diisi sejumlah uang dengan tulisan ”Mohon uang seikhlasnya untuk beli seragam”. Strategi lain yang juga sering digunakan adalah berpura-pura cacat. Strategi yang terakhir ini menuntut kewaspadaan dari masyarakat, sebab terkadang sukar membedakan antara pengemis yang cacat dengan yang pura-pura cacat.

Realita yang menarik untuk diperhatikan masyarakat luas saat ini adalah bahwa ternyata tidak semua pengemis di Yogyakarta adalah orang miskin. Arti miskin dalam konteks ini berarti tidak berkecukupan secara ekonomi. Dengan kata lain, secara ekonomi pemasukan yang didapat lebih kecil dari jumlah yang harus digunakan memenuhi kebutuhan hidup. Wawancara penulis menunjukkan hal demikian, walaupun tidak dipungkiri bahwa sebagian pengemis memang benar-benar miskin dan hidup menggelandang di jalanan.

Cerita mengejutkan ditemukan pada seorang pengemis tua yang pada hari Sabtu dan Minggu biasanya beroperasi di depan pintu masuk salah satu gereja Katolik. Beliau berasal dari Muntilan dan mengemis di Yogyakarta sejak belasan tahun yang lalu. Ketika ditanya, pengemis itu menceritakan bahwa dari hasil mengemis itu ia mempunyai empat ekor sapi di rumahnya. Selain itu dia juga mempunyai petak sawah yang masih produktif. Bapak itu dulunya berprofesi sebagai tukang becak tetapi karena suatu hal dia kemudian menjadi pengemis. Setelah mengumpulkan harta yang disimpan di rumahnya, ia tetap turun ke jalan untuk mengemis.

Salah satu penelitian dari mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta juga mengatakan hal serupa. Penelitian dilakukan pada pengemis-pengemis di pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lebih khusus kepada ‘ibu’di antara pengemis di sana. Kumpulan pengemis di sana ternyata berasal dari luar Yogyakarta, yaitu Purwokerto. Terlepas dari cara mereka bisa sampai di kota ini, hasil observasi yang mencengangkan juga terjadi di sini. Ternyata di tempat tinggal ibu ini ditemukan kulkas dan barang-barang mewah lain yang di luar dugaan bisa dimiliki pengemis. Selain itu, salah satu putranya juga mempunyai motor Tiger merk Honda yang tentu tidak membutuhan dana yang sedikit, baik dalam pembelian maupun perawatan.

Dua contoh tadi menunjukkan bahwa pengemis di Yogyakarta ini tidak selalu berada dalam kemiskinan. Mungkin awalnya memang demikian tetapi ketika harta sudah cukup banyak mereka juga tidak mau meninggalkan pekerjaan ini. Mengemis yang dulunya merupakan jalan terakhir, kini menjadi sebuah pilihan pekerjaan. Walaupun demikian, faktanya sebagian pengemis di Yogyakarta memang orang miskin dalam artian sebenarnya. Mereka hidup menggelandang di jalanan, tidur di emperan toko, bawah jembatan, berpindah dari masjid yang satu ke masjid yang lain.

Twikromo (1999) pernah menuliskan dengan baik tentang pengemis gelandangan ini. Perlu diketahui bahwa tidak setiap pengemis adalah gelandangan, begitu juga sebaliknya, tidak setiap gelandangan adalah pengemis. Pengemis, baik gelandangan atau bukan, mempunyai citra negatif di mata masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang iba memang tetapi keberadaan pengemis sering dikaitkan dengan keindahan kota.

Pengemis dianggap mengotori tatanan kota yang sudah direncanakan melalui berbagai program tata kota. Pengemis adalah unsur yang tidak direncanakan oleh para perencana tata kota. Tidak hanya itu, nilai sosial di masyarakat juga mulai diubah oleh pemerintah. Dulu nilai sosial mengatakan bahwa memberi sedekah pada pengemis adalah perbuatan yang baik. Namun kini tidaklah demikian, pada salah satu sudut jalan terdapat poster bergambar pengendara yang memberikan uang kepada pengemis di jalanan, gambar itu kemudian diberi tanda silang berwarna merah. Artinya pemerintah menganjurkan agar tidak memberikan uang kepada para pengemis, alternatif yang diberikan pemerintah adalah menyalurkan sedekah itu kepada panti-panti sosial.

Walaupun jumlah pengemis bertambah banyak, namun sebenarnya posisi mereka kian terdesak apalagi setelah adanya pergeseran nilai sosial yang dilakukan pemerintah. Pemerintah seakan-akan ingin mengentaskan pengemis, bukan mengentaskan kemiskinan. Jika hanya ingin mengentaskan pengemis, mungkin itu adalah kebijakan yang paling tepat. Tetapi pemerintah dan masyarakat perlu mencermati dan mencari solusi atas kemiskinan, tidak hanya atas pengemis, sebab kemiskinan tidak hanya dimiliki oleh pengemis saja. Bisa jadi pengemis malah lebih kaya daripada pemulung, pedagang asongan, dan lain-lain.

Dibutuhkan gerakan bersama untuk mengentaskan pengemis dari jalanan, keluar dari lingkaran kemiskinan. Pemerintah tentu tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa dukungan dari masyarakat serta usaha dan kesadaran dari para pengemis sendiri. Melihat permasalahan ini maka kemiskinan yang perlu diperbaiki terlebih dahulu adalah kemiskinan mental. Mental yang miskin inilah penyebab banyaknya pengemis yang berkecukupan secara ekonomi. Memang tugas yang berat, menyadarkan pengemis ‘kaya’ agar tidak ‘memiskinkan’ diri mereka sendiri. Biarlah sekeping koin yang memberikan tanggapan.
(selengkapnya...»)