Senin, 26 April 2010

Kepedulian Kita terhadap Anak menjadi Emas bagi Indonesia

“Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan perilaku tiap individu dalam masyarakat sosial. Pengaruh lingkungan yang positif akan membentuk perilaku yang positif pula, sebaliknya bila pengaruh lingkungan bersifat negatif akan membentuk perilaku yang negatif.”

Oleh Maria Lidwina Yanita Petriella

Seperti yang baru-baru ini terjadi di Malang, Jawa Timur. Seorang anak berusia 4 tahun sudah merokok. Anak berinisial SW mulai merokok sejak ia berusia 1,5 tahun. SW yang bisa menghabiskan rokok satu bungkus per hari, mendapatkan rokok dari pergaulannya dengan orang dewasa. SW kerap bermain dengan orang dewasa karena menurutnya orang dewasa dapat memanjakan dirinya. Selain SW fasih dalam merokok, ia juga kerap berbicara cabul yang tidak sesuai dengan usianya. Walaupun merokok merupakan keinginannya, pihak orang tua dan lingkungannya tidak menganjurkannya untuk berhenti merokok.

Menurut penuturan Mulud dan Moedjiati selaku orangtua SW, mereka sudah pernah melarang SW untuk berhenti merokok tetapi SW marah dan mengalami sakit keras serta tidak ceria lagi. Akhirnya orangtua SW tidak pernah melarang SW untuk merokok. Meskipun perilaku SW sangat berbeda dengan balita lainnya, SW masih menyukai minum susu, permen, dan bermain dengan sepeda roda tiga kesayangannya.

Skinner (dalam Psikologi Remaja, 2007) membagi dua jenis perilaku, antara lain perilaku alami dan perilaku operan. Perilaku alami adalah sebuah perilaku yang secara spontan dan dibawa sejak lahir. Sedangkan, perilaku operan adalah perilaku yang dibentuk dengan proses belajar dan tidak secara spontan. Perilaku SW yang gemar merokok ini dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor lingkungan keluarga (inti) dan faktor lingkungan tempatnya bermain. Faktor lingkungan keluarga membawa pengaruh penting dalam membuat pondasi kepribadian anak, pendidikan dan bimbingan dari orang tua sangat penting dan berpengaruh dalam perkembangan anak karena pada usia 2-6 tahun, yakni masa kanak-kanak awal, anak cenderung meniru apa yang ada di sekitarnya dan mencoba segala sesuatu. Orangtua harus berperan aktif membimbing anak dalam mempelajari sesuatu. Kedekatan orangtua dengan anak sangat penting dalam memberikan pengaruh perilaku dan kepribadian terhadap anak.

Faktor lingkungan tempat bermain merupakan faktor kedua setelah faktor keluarga. Anak mencoba mencari teman-teman bermain, merasa nyaman, dan mencoba untuk mempelajari segala sesuatu. Dari lingkunganlah, SW merokok dan berbicara cabul. Dikarenakan SW menyukai bermain bersama orang-orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak seusianya. SW merasa nyaman dan segala keinginan SW dapat terpenuhi bila ia bergaul dengan orang dewasa. Semestinya selaku orang dewasa, ikut membimbing SW dan tidak mengajari hal yang tidak sesuai dengan usianya.

Bila SW dibiarkan dengan kebiasaannya, yaitu merokok dan berbicara cabul, bagaimana keadaan dirinya kelak? Bagaimana nasib generasi muda sebagai penerus bangsa Indonesia? Hal ini harus segera dihentikan. Rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti asma, bronchitis, jantung, dan sebagainya. Selain mengganggu kesehatan, rokok dapat mempengaruhi pertumbuhan otak pada SW karena nikotin yang ada dalam rokok dapat memperlambat syaraf dan mengurangi oksigen di dalam otak sehingga akan berpengaruh pada kerja otak dan pada kecerdasaan anak nantinya.

Bicara cabul yang dilakukan SW dapat mempengaruhi perilakunya karena pada usia SW ini, anak-anak baru memulai mempelajari kata-kata. Bila yang dipelajari kata-kata yang tidak senonoh, dapat diprediksikan nantinya anak tersebut akan selalu berbicara kasar dalam berinteraksi sebab terbiasa dengan kata yang kasar dan tidak senonoh. Membentuk perilaku anak melalui suatu kebiasaan sehingga akan terbawa sampai ia dewasa, misalnya.

Selain berpengaruh pada kesehatan dan perkembangan SW, perilaku SW juga dapat mempengaruhi anak-anak lain. Bisa saja anak-anak mencontoh perilaku SW yang merokok dan berbicara cabul karena mereka tidak mengetahui hal tersebut tidak baik karena pada usia SW ini, anak suka meniru dan mencontoh sesuatu untuk ia pelajari. Perilaku SW ini sangat memprihatinkan bagi kita semua.

Berikut ini adalah tips mendidik anak agar anak tidak terjerumus hal yang negatif, antara lain perlunya kedekatan orangtua terhadap anak. Kedekatan orangtua terhadap anak sangatlah penting supaya orangtua mengetahui perkembangan secara detail dan kontrol terhadap anak, kedekatan orang tua terhadap anak juga berpengaruh terhadap perilaku anak. Selain kedekatan orangtua dan anak, orangtua harus bersikap jujur terhadap anak dan memberikan pengetahuan tentang pergaulan bebas. Pengetahuan dari orangtua dapat membuat anak untuk tidak mencoba-coba dan terpengaruh terhadap lingkungan pergaulan bebas. Dan anak dapat berkata tidak untuk hal yang negatif.

Anak menjadi emas dan pelita bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa Indonesia, rusak begitu saja karena tidak ada pendampingan dari kita. Pendampingan dari orangtua dan masyarakat luas sangatlah penting dalam mendidik anak agar generasi muda saat ini tidak rusak dan memiliki moral yang tinggi. Merekalah yang ke depannya menentukan nasib Indonesia. Mari bersama-sama menjaga dan membimbing generasi muda kita agar mereka dapat membawa bangsa Indonesia dalam suatu kemajuan positif nantinya. Kepedulian kita terhadap masa depan anak merupakan emas yang tak ternilai harganya bagi Indonesia.
(selengkapnya...»)

Selasa, 23 Maret 2010

Pengemis di Luar Kemiskinan

oleh Anderas Ryan Sanjaya

Di sekitar lampu-lampu lalu lintas Kota Yogyakarta yang berdiri dengan tegar, masyarakat dengan mudah dapat menangkap pemandangan pengemis-pengemis yang mengharapkan sedekah dari para pengendara jalan. Pengemis adalah potret dari kemiskinan, permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan di republik ini. Tetapi benarkah pengemis selalu orang miskin yang sangat berkekurangan harta?

Catatan sejarah mengatakan bahwa Yogyakarta sebagai kota didirikan sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I menjabat sebagai raja di Kasultanan Ngayogyakarta setelah Perjanjian Giyanti. Berarti sebenarnya Yogyakarta sudah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu dan hingga detik ini masalah kemiskinan juga belum terselesaikan, sebelas dua belas dengan kota lain di Indonesia. Salah satu hal yang seringkali dikaitkan dengan kemiskinan adalah adanya pengemis di daerah tersebut.

Pengemis ternyata sebuah profesi yang membutuhkan akal, mereka melakukan berbagai macam strategi untuk menyentuh hati pengguna jalan raya. Kaum ibu biasanya menggendong anaknya yang masih kecil di bawah terik matahari ketika sedang menjalankan profesinya. Anak kecil meminta-minta dengan berkata, ”Saya belum makan dari tadi pagi...” atau memberikan amplop kosong untuk diisi sejumlah uang dengan tulisan ”Mohon uang seikhlasnya untuk beli seragam”. Strategi lain yang juga sering digunakan adalah berpura-pura cacat. Strategi yang terakhir ini menuntut kewaspadaan dari masyarakat, sebab terkadang sukar membedakan antara pengemis yang cacat dengan yang pura-pura cacat.

Realita yang menarik untuk diperhatikan masyarakat luas saat ini adalah bahwa ternyata tidak semua pengemis di Yogyakarta adalah orang miskin. Arti miskin dalam konteks ini berarti tidak berkecukupan secara ekonomi. Dengan kata lain, secara ekonomi pemasukan yang didapat lebih kecil dari jumlah yang harus digunakan memenuhi kebutuhan hidup. Wawancara penulis menunjukkan hal demikian, walaupun tidak dipungkiri bahwa sebagian pengemis memang benar-benar miskin dan hidup menggelandang di jalanan.

Cerita mengejutkan ditemukan pada seorang pengemis tua yang pada hari Sabtu dan Minggu biasanya beroperasi di depan pintu masuk salah satu gereja Katolik. Beliau berasal dari Muntilan dan mengemis di Yogyakarta sejak belasan tahun yang lalu. Ketika ditanya, pengemis itu menceritakan bahwa dari hasil mengemis itu ia mempunyai empat ekor sapi di rumahnya. Selain itu dia juga mempunyai petak sawah yang masih produktif. Bapak itu dulunya berprofesi sebagai tukang becak tetapi karena suatu hal dia kemudian menjadi pengemis. Setelah mengumpulkan harta yang disimpan di rumahnya, ia tetap turun ke jalan untuk mengemis.

Salah satu penelitian dari mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta juga mengatakan hal serupa. Penelitian dilakukan pada pengemis-pengemis di pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lebih khusus kepada ‘ibu’di antara pengemis di sana. Kumpulan pengemis di sana ternyata berasal dari luar Yogyakarta, yaitu Purwokerto. Terlepas dari cara mereka bisa sampai di kota ini, hasil observasi yang mencengangkan juga terjadi di sini. Ternyata di tempat tinggal ibu ini ditemukan kulkas dan barang-barang mewah lain yang di luar dugaan bisa dimiliki pengemis. Selain itu, salah satu putranya juga mempunyai motor Tiger merk Honda yang tentu tidak membutuhan dana yang sedikit, baik dalam pembelian maupun perawatan.

Dua contoh tadi menunjukkan bahwa pengemis di Yogyakarta ini tidak selalu berada dalam kemiskinan. Mungkin awalnya memang demikian tetapi ketika harta sudah cukup banyak mereka juga tidak mau meninggalkan pekerjaan ini. Mengemis yang dulunya merupakan jalan terakhir, kini menjadi sebuah pilihan pekerjaan. Walaupun demikian, faktanya sebagian pengemis di Yogyakarta memang orang miskin dalam artian sebenarnya. Mereka hidup menggelandang di jalanan, tidur di emperan toko, bawah jembatan, berpindah dari masjid yang satu ke masjid yang lain.

Twikromo (1999) pernah menuliskan dengan baik tentang pengemis gelandangan ini. Perlu diketahui bahwa tidak setiap pengemis adalah gelandangan, begitu juga sebaliknya, tidak setiap gelandangan adalah pengemis. Pengemis, baik gelandangan atau bukan, mempunyai citra negatif di mata masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang iba memang tetapi keberadaan pengemis sering dikaitkan dengan keindahan kota.

Pengemis dianggap mengotori tatanan kota yang sudah direncanakan melalui berbagai program tata kota. Pengemis adalah unsur yang tidak direncanakan oleh para perencana tata kota. Tidak hanya itu, nilai sosial di masyarakat juga mulai diubah oleh pemerintah. Dulu nilai sosial mengatakan bahwa memberi sedekah pada pengemis adalah perbuatan yang baik. Namun kini tidaklah demikian, pada salah satu sudut jalan terdapat poster bergambar pengendara yang memberikan uang kepada pengemis di jalanan, gambar itu kemudian diberi tanda silang berwarna merah. Artinya pemerintah menganjurkan agar tidak memberikan uang kepada para pengemis, alternatif yang diberikan pemerintah adalah menyalurkan sedekah itu kepada panti-panti sosial.

Walaupun jumlah pengemis bertambah banyak, namun sebenarnya posisi mereka kian terdesak apalagi setelah adanya pergeseran nilai sosial yang dilakukan pemerintah. Pemerintah seakan-akan ingin mengentaskan pengemis, bukan mengentaskan kemiskinan. Jika hanya ingin mengentaskan pengemis, mungkin itu adalah kebijakan yang paling tepat. Tetapi pemerintah dan masyarakat perlu mencermati dan mencari solusi atas kemiskinan, tidak hanya atas pengemis, sebab kemiskinan tidak hanya dimiliki oleh pengemis saja. Bisa jadi pengemis malah lebih kaya daripada pemulung, pedagang asongan, dan lain-lain.

Dibutuhkan gerakan bersama untuk mengentaskan pengemis dari jalanan, keluar dari lingkaran kemiskinan. Pemerintah tentu tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa dukungan dari masyarakat serta usaha dan kesadaran dari para pengemis sendiri. Melihat permasalahan ini maka kemiskinan yang perlu diperbaiki terlebih dahulu adalah kemiskinan mental. Mental yang miskin inilah penyebab banyaknya pengemis yang berkecukupan secara ekonomi. Memang tugas yang berat, menyadarkan pengemis ‘kaya’ agar tidak ‘memiskinkan’ diri mereka sendiri. Biarlah sekeping koin yang memberikan tanggapan.
(selengkapnya...»)

Selasa, 24 Juni 2008

Mahasiswa, Realitas Jiwa dan Pikiran 'segaris refleksi...'

Oleh Dany Ismanu


Aku adalah Mahasiswa, jika ingin disebut demikian, dengan kata "maha" di depan, berarti Aku harus sadar bahwa Aku harus lebih segala-galanya, dibandingkan Aku yang di masa lalu, terutama pemikiran-pemikiranku terhadap keadaanku, keadaan sesamaku yang menangis, dan semua realitas yang hidup di luar sana.

Aku telah berkembang dari waktu ke waktu, dan akan selalu seperti itu. Pengalaman, pengetahuan dan hantaman-hantaman terhadap jiwa dan pemikiranku akan mendewasakanku untuk bisa hidup dalam dunia yang semakin tua, renta dan terlalu rapuh ini. Sehingga Aku akan menjadi manusia yang paling bodoh, ketika Aku membiarkan otak dan pemikiranku ikut terseret masuk dan larut dalam dunia yang semakin tua, renta, dan terlalu rapuh itu.

Aku meyakinkan diriku, bahwa Aku tercipta untuk merubah segala sesuatu yang telah ada menjadi lebih baik. Dan yang bisa melakukan itu semua adalah otakku, pemikiranku. Bahkan Aku percaya, Aku bisa membuat dunia kembali menjadi muda dan dewasa untuk menerima setiap pemikiran-pemikiran yang baru.

Aku yang maha terpelajar seharusnya tidak lepas dari dinamika yang tercipta oleh karena pemikiran-pemikiranku tersebut. Tempatku adalah hamparan ide, gagasan serta pemikiran yang bebas tentang apapun itu. Pemikiran akan adanya kebebasan dan kehidupan yang lebih baik. Ketidaknyamanan terhadap keadaan pun akan membuat otakku mendidih dan siap menumpahkan segala pemikiran untuk memecahkan setiap mata rantai yang membelengguku.

Oleh karena itu, pemikiran-pemikiranku harus bebas membaca setiap realitas yang ada. Pemikiranku adalah keberanian yang menghantam tembok setebal apapun, demi berartinya sebuah kehidupan. Pemikiranku adalah keresahan dan kegelisahan yang menemani setiap generasi yang terlahir dalam dinginnya malam dan menjadi musuh bagi makhluk-makhluk yang serakah. Aku harus selalu ada bagi mereka yang tertindas dan menangis dan yang akan menggantikan Aku, untuk kemudian memikirkanku, dan Aku yang selanjutnya.

Mereka yang tertindas dan menangis menitipkan asanya padaku, dan bukankah Aku harus merasa berkewajiban untuk mengubah setiap hembusan asa itu menjadi nyata?? Menjadi nyata di depan mata mereka. Hingga tidak ada lagi yang menangis, tidak ada lagi yang tertindas dan merana. Dan Aku, Mahasiswa, akan memulai semua hal besar itu dengan otakku ini. Dengan pikiran pertama tentang perubahan dan kebebasan.

Dan bagi mereka makhluk-makhluk serakah, pemikiranku sewaktu-waktu akan menjadi pisau tajam yang siap menghunus perut kalian yang penuh berisi senyum-senyum kebebasanku dan gelak tawa kaum-kaum yang tertindas, maka dari itu bersiaplah, karena setiap zaman akan melahirkan generasinya.

Dan Aku, Mahasiswa, akan selalu ada sebagai malaikat sekaligus hantu. Kecuali Aku adalah MAKHLUK DUNGU dengan kemampuan OTAK TERBATAS dan tidak pantas disebut MAHASISWA !!!
(selengkapnya...»)

Kamis, 01 November 2007

Sumpah Pemuda, Nasibmu Kini...

Satu tanah air, tanah air Indonesia
Satu bangsa, bangsa Indonesia
Satu bahasa, bahasa Indonesia




Oleh Dominus Tomy Waskito


Kira-kira seperti itulah isi keputusan Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928 yang terkenal sebagai Sumpah Pemuda. Sumpah ini dilakukan oleh berbagai perwakilan pemuda saat itu, antara lain Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan Jong Celebes.

Sumpah tersebut memberikan makna yang besar sekali pada waktu perjuangan para pendahulu kita mengusir para penjajah dari bumi nusantara ini. Sumpah ini memberikan semacam arti kesadaran bagi tegaknya persatuan dan kesatuan Indonesia. Serta menimbulkan semangat nasionalisme tinggi diantara para pemuda kala itu untuk melawan politik devide et impera yang dilakukan oleh kaum kolonial Belanda. Maka, bukanlah berlebihan bila sumpah yang dilakukan oleh para pemuda itu merupakan suatu langkah maju untuk memperoleh kemerdekaan yang diinginkan seluruh rakyat Indonesia kala itu.

Sudah berusia 79 tahun sumpah yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita itu berlangsung. Kita sebagai generasi muda seharusnya malu dengan para pendahulu kita. Bagaimana tidak, kita semakin hari semakin kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Banyak diantara kita yang lupa bahkan tidak tahu pada hari ini genap sudah 79 tahun sumpah itu diikrarkan. Mereka, para pemuda saat ini, lebih suka memperingati Halloween, sebuah acara dari Amerika Serikat, yang tanggal nya tidak jauh dengan tanggal ikrar Sumpah Pemuda. Penulis hampir tidak menemui semangat memperingati hari yang sangat bersejarah itu di kampung-kampung. Seperti masa penulis dahulu yang selalu mengikuti berbagai perlombaan di kampung.

Mereka lebih suka dugem, pergi ke Coffeshop, shopping dan lainnya daripada harus merancang kegiatan-kegiatan memperingati Sumpah Pemuda.

Sedangkan di kampus FISIP UAJY kita tercinta, penulis mengamati hampir tidak ada kegiatan untuk sekedar mengenang ikrar tersebut. Kita lebih suka memperingati Valentine Day, daripada harus susah-susah membuat kegiatan memperingati ikrar ini.

Hal ini adalah kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini. Sebaiknya para pemuda yang merupakan generasi penerus bangsa ini diberi pengertian makna sumpah tersebut. hal-hal seperti inilah yang perlu ditekankan di benak para pemuda. Mungkin saja mereka dapat sadar diri untuk sekedar mengucapkan terima kasih kepada generasi pemuda saat itu.
(selengkapnya...»)

Jumat, 10 Agustus 2007

BHP

“Sudah cukup rakyat ditindas dan dibodohi selama rezim Orba berkuasa. Saatnya untuk menuntut pendidikan gratis karena pendidikan merupakan hak rakyat dan bukan hak sebagian atau sekelompok orang. Peringatan kepada Pemerintah jangan sekali-kali melepas tanggung jawab terhadap pendidikan dengan mensahkan RUU BHP…”

Oleh Hendy Adhitya

Penuh nada amarah dan bahkan si penulis terkesan mengancam. Saya ambil kutipan diatas dari salah satu testimoni di web hukumonline.com. Dan sebagian besar testimoni yang saya lihat di web itu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU yang bakal disahkan awal Agustus ini.

RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebenarnya merupakan implementasi pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut berbunyi, "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan".


Privatisasi Pendidikan ?

Tentu saja banyak pihak yang ketar-ketir dengan RUU BHP ini, salah satunya yayasan. Karena jika BHP jadi disahkan pemerintah maka yayasan bukan sebagai –ibaratnya- pemegang tongkat pendidikan lagi. Namun, sebuah badan bernama BHP-lah yang akan menggantikan peran yayasan selanjutnya. Yayasan Muhammadiyah dan Taman Siswa merupakan dua yayasan yang vokal menolak RUU BHP ini –entah dengan Yayasan Slamet Riyadi-.

Kekhawatiran yang sama juga dialami peserta didik. Mahasiswa misalnya, mereka khawatir BHP merupakan jalan menuju privatisasi pendidikan yang dilegalkan pemerintah.

Ada pasal di dalam RUU BHP yang menyebutkan BHP –sangat memungkinkan- dipimpin oleh individu atau kelompok. Meski disitu ditulis juga pemerintah pusat, pemerintah daerah dan yayasan dapat menjadi pimpinan BHP. Tapi coba pikir, pemerintah saat ini saja sulit untuk merealisasikan 20% APBNnya untuk dana pendidikan. Apa mungkin mereka sanggup menjadi pimpinan BHP dan membiayai seluruh pendanaan pendidikan untuk semua jenjang pendidikan di seluruh Indonesia ini?

Nah, kalau begitu pemerintah kita -dengan jujur- lewat peraturan ini menyatakan ketidaksanggupannya mengurus pendidikan bangsa ini. Dengan nyata dan sejelas-jelasnya pemerintah kita sendiri telah melanggar pasal 31 UUD 1945 ayat 2 dan 4.

Problem berikutnya berkaitan dengan sumber pendanaan dan sifat otonom BHP. Ada pasal yang menyebutkan salah satu sumber pendanaan berasal dari peserta didik (Pasal 21 ayat 2). Pasal ini perlu diperjelas karena bukan tak mungkin jika RUU ini jadi disahkan peserta didik malah menjadi sumber pendanaan utama BHP.

Sifat otonom BHP juga ambigu. Pengertian otonom disini menurut RUU BHP dalam pasal penjelas adalah “…kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri.” Di kalimat ini seolah-olah BHP diberi ruang untuk menjalankan kegiatan secara leluasa dan tiada batas. Sifat otonom inilah yang –mungkin bagi rekan-rekan mahasiswa- berpotensi menuju komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.

Karena dengan sifat otonom itulah BHP berpeluang untuk mengatur dan membuat aturan mainnya sendiri. Tak usah jauh-jauh, status Badan Hukum Milik Negara alias BHMN di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bisa jadi contoh.

Semenjak diberlakukannya BHMN ini, jalur-jalur khusus penerimaan mahasiswa baru yang sebelumnya tidak pernah ada kini ada di beberapa PTN. Jalur-jalur khusus ini dibuka bukan tanpa maksud. Dibukanya jalur khusus ini dimanfaatkan PTN sebagai ajang untuk mengeruk dana dari calon mahasiswa berkantong tebal. Otomatis, kuota mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah untuk mengenyam bangku kuliah makin kecil.

Maka, keambiguitasan kata otonom disini perlu dibatasi. Jangan sampai BHP ini menjadi ajang pengerukan dana dan pelegalan aturan bagi kepentingan kelompok tertentu di bidang pendidikan.

Saya bukannya menolak BHP. Tapi, perlunya kita mengkritisi pasal-pasal yang ada di dalam RUU BHP untuk ditinjau ulang. Tabik !
(selengkapnya...»)

Rabu, 13 Juni 2007

Presensi 75%,Mutlakkah ?

Kertas biru yang ditempel di depan TU FISIP UAJY beberapa hari lalu sempat membuat kaget beberapa teman-teman mahasiswa, termasuk saya. Semua berharap tak ada nomor mereka tercantum di kertas biru itu.

Oleh Hendy Adhitya

Untungnya Nomor Induk Mahasiswa (NIM) saya tak tercantum di kertas biru itu. Kertas biru berisi nomor mahasiswa yang tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) karena presensi kehadiran dibawah 75%.

Banyak yang bernafas lega –termasuk saya- dan banyak pula yang merasa sedih karena tak bisa mengikuti ujian akhir. Bagi pihak yang disebut terakhir ini artinya mereka harus mengulangi mata kuliah tersebut di semester yang akan datang.


Mematikan Kreativitas Mahasiswa

Kebijakan kampus khususnya yang mengatur masalah kehadiran minimal 75% ini amat tidak relevan dengan kondisi riil mahasiswa FISIP UAJY. Saya menganggap dengan adanya pembatasan ini justru mematikan kreativitas mahasiswa di luar ruang kuliah. Padahal sebagai mahasiswa, kita dituntut untuk kritis tetapi dinamis.

Maka peraturan presensi 75% ini bertentangan dengan slogan “mahasiswa lulus langsung siap kerja” yang sering dikumandangkan tiap universitas dalam beriklan. Nah, bagaimana mau siap di dunia kerja jika kegiatan berkreasi mahasiswanya yang menunjang kearah itu, entah itu kegiatan berorganisasi, kerja sambilan atau yang lainnya dihambat oleh peraturan seperti ini?

Saya menganggap peraturan ini telah mengerdilkan pemikiran mahasiswa sebatas apa yang diajarkan didalam kelas saja. Kita dipaksa dijejali beragam teori tanpa ada –kesempatan luas- untuk mengaplikasikannya di dunia luar.

Bodohnya lagi, mau-maunya mahasiswa taat pada peraturan yang sebenarnya tidak kita buat dan sepakati. Intinya, buat apa kita mematuhi peraturan yang bukan merupakan konsensus bersama? Bukankah kita tinggal di negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi? Lalu kemana suara kita (mahasiswa) ?


Solusi

Ada banyak jalan menuju Roma. Begitu kata pepatah lama. Ada banyak jalan keluar dari permasalahan. Maka, saya mencoba memberi ragam solusi –meski bukan yang terbaik- untuk permasalahan ini.

Pertama, ada baiknya kebijakan presensi ini diberikan kepada dosen pengampu mata kuliah masing-masing. Jadi dosen memiliki (semacam) hak prerogatif. Namun, hal ini tergantung pada sifat dosen. Sifat dosen yang kooperatif akan lebih disenangi mahasiswa ketimbang yang tidak.

Kedua, jangan jadikan presensi kehadiran 75% ini sebagai tolak ukur keberhasilan mahasiswa menempuh sebuah mata kuliah. Justru ukuran keberhasilan mahasiswa ialah mengerti dan paham terhadap segala hal yang telah disampaikan dosen.

Ketiga, seharusnya pihak kampus tidak memukul rata semua mahasiswa yang daftar hadirnya dibawah limit 75%. Tentu perlu ditanyakan kembali alasan masing-masing mahasiswa.

Pada akhirnya, kebijakan presensi kehadiran minimal 75% ini harus ditelaah kembali. Janganlah kampus memutuskan kebijakan sendiri tanpa melibatkan mahasiswa didalamnya.



*tulisan ini juga pernah dipublikasikan di Mrican Pos Edisi 3 bulan Mei 2007
(selengkapnya...»)